“Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang memikirkan diri sendiri.”

Kutipan tersebut, yang dikenal luas sebagai bagian dari ungkapan Ir. Soekarno, kembali melintas dalam benak saya beberapa hari lalu. Bukan dari buku sejarah atau pidato kenegaraan, melainkan dari sebuah cuplikan video yang tersebar di Instagram. Dalam video itu, Ganjar Pranowo—mantan Gubernur Jawa Tengah yang juga tokoh politik nasional—mengutip kembali perkataan tersebut. Saya yakin, seperti halnya banyak tokoh lain yang mengutip Bung Karno, niat Ganjar tentu baik: mengajak pemuda untuk lebih peduli pada urusan bangsa, bukan hanya berkutat pada kepentingan pribadi.

Namun, kutipan ini, seperti banyak kutipan ikonik lainnya, tentu layak kita kaji ulang dalam konteks kekinian. Apa sebenarnya makna di balik kalimat tersebut? Apakah Bung Karno benar mengajak kita untuk merokok dan minum kopi? Atau ada pesan yang lebih dalam tentang bagaimana semestinya pemuda berperan dalam kehidupan berbangsa?

Bung Karno, sejak awal, adalah seorang pemimpin yang menaruh kepercayaan besar kepada generasi muda. Baginya, pemuda adalah motor penggerak revolusi, pendorong perubahan, dan penjaga semangat kebangsaan. Maka dari itu, kutipan tersebut lebih tepat dimaknai sebagai ajakan agar pemuda tidak sekadar mengejar ilmu untuk kepentingan pribadi, tetapi juga turun ke lapangan, berdiskusi, berkontribusi, dan terlibat dalam dinamika sosial-politik bangsa.

Di sisi lain, “pemuda kutu buku” bukan berarti buruk. Justru literasi dan pengetahuan adalah fondasi penting dalam membentuk sikap kritis. Namun, literasi saja tidak cukup. Diperlukan juga keberanian untuk berdialog, kepedulian untuk terlibat, dan kesadaran bahwa ilmu harus diabdikan demi kepentingan masyarakat luas.

Rokok dan kopi dalam kutipan tersebut, mungkin kini harus kita baca secara simbolik: sebagai gambaran kedekatan, keakraban, dan suasana nongkrong yang tidak kaku. Sebuah ruang di mana ide-ide besar bisa lahir dari percakapan ringan—asal tetap berorientasi pada kemaslahatan bangsa.

Sebagai generasi masa kini, tugas kita bukan hanya memilih salah satu antara “kutu buku” atau “diskusi warung kopi”, tetapi memadukan keduanya. Belajar setinggi mungkin, membaca sebanyak mungkin, lalu membawa semua itu ke ruang publik, untuk berdebat, berdialog, dan membangun masa depan.
