Di tengah hiruk-pikuk ekonomi dan kebijakan pajak yang terus berubah, sebuah isu yang semakin menarik perhatian publik adalah terkait dengan besaran gaji dan siapa yang sebenarnya menanggung pajaknya. Fenomena yang mengundang kontroversi adalah kebijakan yang mengizinkan individu dengan gaji lebih dari 100 juta rupiah per bulan, atau bahkan lebih, untuk tidak membayar pajak mereka sendiri, karena pajak tersebut ditanggung oleh negara.

Sementara itu, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya pekerja swasta dan kelas menengah, pembayaran pajak menjadi kewajiban yang tak bisa dihindari. Mereka harus membayar pajak secara rutin melalui potongan langsung dari gaji atau penghasilan mereka, tanpa ada keringanan atau pengurangan berarti.

Dalam kasus-kasus tertentu, pejabat negara atau individu dengan gaji sangat besar bisa mendapat kemudahan di mana pajaknya ditanggung oleh negara. Biasanya, ini terjadi pada pejabat publik atau pegawai yang mendapatkan fasilitas dari negara sebagai bagian dari tunjangan atau peraturan tertentu. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat, terutama mereka yang harus bekerja keras untuk memenuhi kewajiban pajak mereka sendiri.

Kebijakan ini tidak hanya menimbulkan rasa ketidakadilan, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Sebagai contoh, seorang pekerja swasta dengan gaji yang lebih rendah harus menanggung pajak penghasilan pribadi tanpa pengurangan fasilitas, sementara seorang pejabat dengan gaji jauh lebih tinggi mungkin mendapat fasilitas berupa pengurangan pajak atau bahkan pembayaran pajak yang dibiayai negara.

Sementara segelintir orang dengan gaji besar mendapatkan perlakuan khusus terkait pajak mereka, jutaan rakyat dan pekerja swasta harus terus berjuang untuk memenuhi kewajiban pajak mereka. Tidak jarang, mereka dikejar-kejar oleh otoritas pajak untuk membayar tepat waktu, meskipun penghasilan mereka pas-pasan.

Ini adalah ironi besar. Rakyat yang berpenghasilan rendah atau menengah sering kali merasa terbebani oleh pajak yang harus mereka bayar, padahal dalam banyak kasus, mereka justru yang paling membutuhkan fasilitas dan dukungan negara. Ketimpangan ini menciptakan kesan bahwa kebijakan pajak lebih berpihak pada kalangan elit, sementara rakyat biasa terpinggirkan.

Idealnya, sebuah sistem perpajakan yang adil harus dapat membebankan pajak sesuai dengan kemampuan masing-masing individu atau badan usaha. Mereka yang memiliki penghasilan lebih tinggi seharusnya membayar pajak yang lebih besar, sesuai dengan prinsip progresivitas pajak. Namun, dengan adanya kebijakan yang membebaskan individu dengan penghasilan besar dari kewajiban pajak mereka, timbul kesan bahwa sistem pajak lebih berpihak pada kalangan tertentu.

Pertanyaan besar yang muncul adalah: Apakah kebijakan ini adil? Bagaimana seharusnya sistem pajak bekerja untuk memastikan bahwa beban pajak tidak hanya dipikul oleh rakyat kecil, tetapi juga oleh mereka yang mampu?

Dalam konteks ini, banyak pihak yang berharap ada perubahan signifikan dalam kebijakan perpajakan Indonesia. Salah satu harapan adalah agar sistem perpajakan bisa lebih progresif dan adil, di mana mereka yang berpenghasilan tinggi benar-benar membayar pajak sesuai dengan penghasilan mereka, tanpa mendapatkan keringanan khusus dari negara.